Minggu, 24 April 2011

Tak Perlu Malu Menyampaikan Kebenaran

Alkisah, para pembesar kaum Quraisy menawari seorang laki-laki berbagai hadiah yang sangat menggiurkan; Kedudukkan tinngi, wanita-wanita tercantik seantero jazirah Arab, hingga harta yang melimpah ruah.Semua tawaran tersebut bukanlah hadiah yang bisa dipandang sebelah mata.
Sekalipun demikian, laki-laki tersebut tak bergeser pada sikap teguhnya. Dia yakin, bahwa kegiatan dakwah yang dilakukannya, merupakan perkara yang sangat mulia, dan jauh lebih berharga dari hadiah-hadiah yang mereka iming-imingkan.
Kemuliaan baginya, sama sekali tidak terletak pada tingginya jabatan, atau melimpahnya harta benda. Tapi, risalah yang dia bawalah, Islam, yang akan menyebabkannya dan pemeluknya mulia. “Al-Islamu Ya’lu wa laa yu’laa ‘alaihi.” (Islam itu tinggi/mulia. Dan tidak ada yang lebih tinggi/mulia dari padanya).
Merasa gagal dengan cara lunak, para pembesar itu mulai mencegahnya dengan cara-cara kasar, bahkan terkadang sangat tidak berprikemanusiaan. Sekali lagi, nyali laki-laki itu tak pernah ciut. Dia tetap beristiqomah dalam menyi’arkan risalah yang dia bawa. Bahkan, dengan tegas beliau berujar, “Demi Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku tinggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya”.
Pria itu, tak lain, Muhammad Rosulullah. Pria yang telah membuah gundah gulana para pemembesar kafir Quraisy.
Islam adalah agama dakwah. Artinya ia agama yang senantiasa mengajak/menyerukan kepada manusia menuju jalan kebenaran, jalan Allah dan Rosul-Nya.
Seperti apa yang dikemukan oleh Syeikh Ali Mahfudz, seorang ulama dari Mesir, dalam kitabnya ‘Hidayat Al-Mursyidin’,   bahwa Dakwah adalah sarana bagi manusia untuk melakukan kebajikan, mengikuti petunjuk, memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, agar mereka meperoleh kebahagian hidup, di dunia dan di akhirat kelak.
Dalam al-Quran dan al-Hadits, terdapat banyak sekali dalil yang memerintahkan wajibnya berdakwah. Salah satunya, firman Allah, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikkan/ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Imron 104).
Ketika kemaksiatan dilakukan orang tanpa malu, bahkan sudah di jalan-jalan dan di sekitar kita, apa jadinya tanpa dakwah dan orang-orang yang berani menyampaikan kebenaran?
Di saat banyak orang bangga berselingkuh dan berbuat kemungkaran, apa jadinya tanpa ada orang yang berani mengingatkan?
Dalam sebuah hadits, Rosulullah, bahkan menyerukan umatnya untuk senantiasa mendakwahkan Islam, sekalipun mereka hanya bermodalkan satu ayat dari firman-firman-Nya. Sabda beliau: “Ballighu ‘anni walau ayyah.” (Sampaikan apa saja dariku sekalipun hanya satu ayat).
Hadits di atas mengandung arti, agar kaum Muslimin memiliki ghirah (semamngat) tinggi dalam menyebarluaskan agama Islam ini. Hatta, sekalipun mereka hanya bermodalkan satu ayat saja, mereka harus tetap memiliki spirit yang tinggi. Apalagi, kalau lebih dari itu, pastinya.
Thoriq bin Ziyad, panglima perang kaum muslimin di Andalusia pernah mengatakan, “Sesungguhnya kemajuan dan kemunduran Islam, itu tergantung pada usaha setiap individu umat Islam itu sendiri, di dalam menyebarkannya”. (Abdul Latip Talip, ‘Toriq bin Ziyad Sang Penakluk Andalusia’: 275).
Ketika kaum muslimin mulai menjauhi dunia dakwah, maka secara tidak langsung mereka telah terlibat dalam melebur kemuliaan agama hanif ini, serta telah ikut serta melemahkan keeksistensiannya. Begitu pula sebaliknya. Ketika syi’ar Islam mereka perjuangkan mati-matian, hingga benar-benar menerangi permukaan bumi,  berarti mereka telah turut andil dalam membangun kemuliaan agama ini, dan para pemeluknya. Kedepannya, kaum mukminin akan diperhitungkan keberadaannya, akan disegani, dan tidak akan pernah dipandang sebelah mata, baik oleh kawan maupun lawan.
Sejarah telah membuktikan, betapa kewibawaan umat Islam melambung tinggi, ketika dakwah Islam menembus batas Afrika, Mesir, Yaman, Palestina, Eropa,  Andalusia dan sekitarnya. Mereka mampu mewarnai dunia dari segala sisi; politik, ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, pertanian, dan lain sebagainya.
Mereka benar-benar menjadi refrensi/percontohan kehidupan masyarakat yang makmur, maju, lagi relegius, bagi bangsa-bangsa lain, pada saat itu. Bahkan, kebangkitan Eropa saat ini, pun tidak lepas dari peran kaum muslimin dahulu, di masa kejayaan Islam.
Islam adalah agama yang mulia. Tak sedikit orang yang belum merasakan nikmatnya agama ini. Karena itu, tugas kitalah untuk mendakwahkannya. Dalam al-Quran Allah berfirman: “Kalian adalah sebaik-baik umat yang menyerukan kepada kebaikkan (ma’ruf) dan mencegah yang munkar.” (Al-Imran 110)
Sudah tentu, mengabarkan kebaikan dan kemuliaan tak ada yang ‘gratis’. Ibarat dua keping mata uang, antara kebaikan, selalu ada jalan terjal. Keduanya seperti sudah ditakdirkan untuk selalu berjalan beriringan.
Di bagian belahan bumi manapun kita berdakwah, maka di situ pasti ada tantangan yang harus kita hadapi. Bahkan di dalam lingkungan keluarga sendiripun akan terjadi. Di manapun, selalu ada kaum penolak kebaikan dan dakwah.
Firman Allah, “Begitulah bagi setiap Nabi, telah kami adakan musuh dari orang-orang berdosa. Tetapi cukuplah Tuhanmu pemberi petunjuk dan penolong.” (Al-Furqan: 31).
Dalam perjalanan dakwah, Nabi pernah diusir dari tempat kelahirannya. Beliua menerima cemoohan, hinaan baik berupa perkataan, maupun tindakkan. Pernah suatu hari, ketika Rosulullah berdakwah di Thoif, beliau diusir dan dilempari batu dan kotoran oleh anak-anak kecil, dan budak-budak. Sampai-sampai, Malaikat penjaga gunung merasa  geregetan, ingin menimpakan gunung di tengah-tengah penduduk Thoif. Tetapi, Rosulullah mencegahnya. Beliau justru mendo’akan agar warga Thoif diberikan petunjuk oleh Allah.
Kini, hal serupa tengah dialami kaum Muslimin. Dengan stigma terorisme, umat Islam difitnah di mana-mana. Hanya karena ada pakaian gamis, surban, jenggot dan cadar, seolah sudah dicap pembuat rusuh.
Rasulullah adalan contoh manusia yang luar biasa dalam mengembangkan dakwah dan mengabarkan kebenaran agama Islam. Tak sedikit orang kafir Quraisy menghinanya,  menganggapnya sebagai orang gila, tukang sihir, tukang tenung, penya’ir, dan sebagainya. Bagaimanapun buruk julukkan pada beliau, Nabi tetap berdakwah sambil terus mendoakan. Atas usaha luar biasa Nabi, terbitlah fajar kemenangan di jazirah Arab dan sekitarnya yang mengakibatkan tenggelamnya kejahiliayahan pada saat itu.
Orang-orang berbondong-bondong masuk Islam hingga digambarkan Allah dalam Al-Quran dalam surat An-Nasr: 1-3, yang berbunyi; “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (1) Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah (2) Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh Ia Maha Penerima taubat (3).”  
Begitulah buah atas  kesabaran dalam dakwah. Tak ada salahnya, jika kita memulai dari diri kita sendiri. Tetaplah bersemangat dalam berdakwah dan mengabarkan kemuliaan Islam ini. Di mana saja dan kapan saja. Di kampung, di kantor atau dalam rumah tangga kita sendiri. Mudah-mudahan, buah ‘kemenangan” yang telah dijanjikan Allah segera datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar